Puisi perpisahan – Perpisahan adalah peristiwa yang akan dialami oleh seseorang yang melakukan pertemuan. Karena sejatinya setiap pertemuan yang terjadi adalah pasangan dari perpisahan. Banyak orang yang tidak menyukai perihal perpisahan.
Pada umumnya, pada suatu perpisahan selalu menyisakan berjuta kenangan sehingga membuat orang membenci perpisahan itu sendiri. Terkadang suatu perpisahan dapat di ungkapkan melalui puisi. Banyak yang menggunakan puisi untuk mengisi suatu acara perpisahan.
Contents
Kumpulan Puisi Perpisahan terbaik
Karena melalui puisi kesan perasaan lebih di dapat. Berikut ini contoh- contoh puisi yang berkaitan dengan perpisahan.
Akhir Cerita

*****
(Oleh : Rahayu Prihatin, M.Pd)
Bergelut dengan rasa yang tak pernah bersahabat
Menjalani hari yang sulit untuk di mengerti
Bila harap tak menjanjikan harapan
Jika masa lalu jadi bayangan yang tak henti menemani
Semua menjadi luka
Semua hanya menambah perih
Semua hanya membuat luka
Tak terima pikiran dihantui prasangka
Hati bergejolak oleh amarah
Lebih baik cinta itu pergi bersama angin
Yang tak meninggalkan jejak
Bersama mimpi yang terkubur benci
Akhir cerita tak harus indah
Namun cerita kan selalu memberi makna
Semua pasti “berakhir” sebab dimulai oleh “awal” akhir cerita
Hanya milik kita…
*****
Salam Perpisahan

*****
Mata yang berkaca- kaca
Jantung yang berdetak- detak tak menentu
Itulah terpaan gemuruh rasa dalam hatiku
Jarak kita pun kian membentang
Kini hatiku tergores kesedihan
Ketika terucap salam perpisahan
Akankah semuanya jadi terkenang
Bahkan mungkin terkubur oleh waktu dan keadaan
Kini semua tinggal kenangan
Kenangan indah yang telah kita lalui
Canda – tawa
Sedih
Khawatir dan rasa takut terpisahkan
Itulah perasaan yang menggulumi hati kita selama ini
Sobat
Akan tetap membekas suatu kenangan
Dan aku takkan lupa dimana waktu dulu kita bersama
*****
Yang Pergi dan Yang Tinggal

*****
(Oleh : Fridolin Ukur )
Yang pergi tidak lagi akan mengalami
Kepahitan yang masih terus meracuni
Mereka yang berjalan di lorong senja
Terus menatap bintang barat berpacaran
Enggan subuh meraih terlalu cepat
Yang bercinta masih juga membiak dosa
Berpacu menentang maut yang berkejaran
Di dada, mawar- mawar terkulai layu pucat
Masih juga mereka tidak mengerti
Kekekalan terbentang di tapak- tapak kaki
Tersembunyi dari mata yang tak mau mencari
Masih juga mereka rakus mencari diri
Kemaruk harta, nafsu akan kuasa yang menggilai
Berpelukan jantan betina sambil menari
Yang pergi tak akan mengalami
Kepahitan yang masih terus meracuni
*****
Kerisauan Mendung

*****
Mendung sedang menari di hadapkan Tuhannya
Mencari celah agar dapat lagi tersenyum lagi
Pada bumi yang tengah di landa sekarat
Dia meminta hujan untuk sekedar bertamu
Dan menyapa meski tak lama
Seperti halnya aku yang memaksa Tuhanku
Untuk menghadirkanmu meski hanya sekadar singgah
Bukan menetap!
*****
Antara Dua Kekekalan

*****
(Oleh : Firdolin Ukur)
Di renggut dari jantung bumi
Kau berjalan menuju perpisahan akhir
Dari kekekalan sementara yang berhenti lahir
Ke dunia bersih tanpa dendam dan benci
Rambutmu ikal putih satu- satu membuahi cinta
Hari- hari tua hilang bersama kepergianmu
menuju dunia penuh cahaya
arah yang lumpuh
mengantarmu dari jauh
adikku ragil manis
sendiri meraungi tangis
kandaku di seberang lautan
berduka di sedan tertahan
kami bertiga hanya
kakakku tertua dan adikku pertama
anak- anak kandungan cinta
sempat menatap wajah
jejari gemetar sempat menjamah
bunda,
kau pergi ke kehidupan yang tak terbelah
*****
(II)
Kematian tak bisa lagi menciptakan syair palsu
Untuk nyanyi nyanyi di bumi kekekalan yang tak pernah ada
Kematian hanya bisa memburu percik sajak betina
Aku yang hidup di alam kasih menyinta
Darahku berlagu, bersyair menentang dusta
Maut, seolah kematian menamatkan rindu
Aku seekor burung bernyanyi
Tentang perjalanan yang belum selesai
Hatiku beri sembrani
Menarik jarum maut sampai saat bercerai
*****
(III)
Satu waktu nanti
Aku akan sampai di perbatasan
Kefanaan yang sia- sia
Penciptaku berdiri menanti
Segumpal sedan tertahan di kerongkongan
Pandangan seakan berkata: penyair
Kebenaranmu hampa
Kebencian dan nafsu masih membara
Ku tengok ke dalam: silam hitam
Kekekalan yang di telan malam
Semuanya akan lalu
Hanya tinggal langkah selenggang
Ke arah kekekalan yang baru
Tiada duka nyeri menghadang
*****
Keranda Penjajah

*****
(Oleh : Fitri Nur Vaindah Rohmah)
Di peras habis membekas di ujung ubun- ubun
Membasahi tubuh terkoyak oleh sang belanda
Tumpah membabat habis jiwa dan raga pribumi
Di cuci tenaganya tak berampas
Luka dan darah menghiasi mereka yang berjuang menentang
Berpacu dengan denyut waktu
Bersenjatakan si bambu kuning keberuntungan
Dengan mantra Allahu akbar tak gentar menghiasi medan perang
Menyisakan tangis dan kematian
*****
Sajak Perpisahan Sepihak

*****
(Oleh : Fitri Nur Vaindah Rohma )
Sajak perpisahan merunyam
Batin mencoba menitih luka aksara baru
Bertamu pada pintu- pintu patah hati
Terlilit pada golongan penikmat air mata
Berparas sayu yang remuk diam- diam
Dunia tahu perpisahan itu kejam pada manusia
Mereka menjadi bayangan hitam tanpa ampun
Bersembunyi di cela- cela puing- puing kebodohan hubungan
Menyendiri di pojok cinta sendiri yang tak berkasih
Melihat dia yang masih berbahagia dengan yang sekarang
Merobohkan harapan kembali bersama
Tapi jika ada penyesalan jangan memohon untuk kembali
Kau tabur duri maka tak akan ada apel yang tumbuh
Lelakiku bukan begini
Dia memintaku untuk bertahan bukan melepaskan
*****
Nyonyaku
(Fitri Nurvaindah R )
Perempuan tangguh beralaskan senyum
Memikul pilu tak di rasa
Aku suka gayanya kala bercanda
Memainkan luka dengan cerianya
Salutku atas perban yang di tutupinya tanpa meringis
Ku kagum sekuat itu alam menciptakan malaikatku ini
Dengan tenaga tubuh seadanya
Tak pernah berlian itu terjatuh dari kelopaknya
Ketegaran yang tak mungkin bisa ku miliki
Kenyataannya dialah ibu ku
Nyonyaku di segala kebenaran hidup
Kasihnya mengutarakan ketulusan yang tak terganti
Perjuangannya tak terbayar dengan materi
Seluruh organ ku pun tak sanggup membahagiakannya
Dia bentengku di kehidupan ini
Selamanya akan seperti itu
*****
Terlambat

*****
Aku akan mengatakannya (lagi)
Bila mana bunga petuniaku
Menyekatkan taman seliamu
Ku masih ingat jalan dimana aku datang
Cukup berikanku sedikit isyarat
Tuk bisa menjauh lekas
Apa aku terlalu cepat atau
Amat terlambat
Dewiku
*****
Duka itu pun Menjadi Putih

*****
(Oleh : Fridolin Ukur)
(i)
Seakan suara gaib di udara
Membisikkan lagu duka
Tanda perpisahan akhir tiba
Karena kematian sangat rahasia
Datang menjelang
Menjemputmu, ayah
Ketika mentari muda
Beranjak dewasa
Dalam pelukanku
Bibir tua meninggalkan pesan
Dengan suara serak tertelan
Aku sendiri tidak mengerti
Ucap pamit suara parau
Aku mengangguk juga dengan perlahan
Lalu kepada kandaku tertua
Yang memeluk tubuhmu di sisi kiri
Lalu berbisik damai: aku pergi !
Ketika tubuhmu ku baringkan kembali
Sebuah senyum bangga
Menghias wajah renta
Bersama helaan napas panjang
Usailah kembara fana
Ayah !
Kau pergi
Bersama benang sutera
Terulur dari sorga
Menjemput sukma
*****
(ii)
Detik – detik hening begitu memagut
Dalam duka kami menatap
Wajahmu, bening bercahaya
Padat getar – getar bahagia
Menatap kami dalam cinta !
Isak yang memadati dada
Pecah – pecah tiba –tiba
Di awali lengking tangis adikku ragil manis
Seperti rintih buih
Di kelabu gerimis
Raung pun menulari seluruh ruang
Sedu dan air mata
Adalah senandung duka !
Satu demi satu, kami berlima
Mencuri ciuman penghabisan
Seakan menahan pelangi mimpi
Untuk tidak terpecah
Di lengkung garis hidup ini
Tapi wajahmu begitu begitu anggun
Berhiaskan bunga- bunga cinta
Seakan berpesan
Waktu yang lama ku tunggu
Kini sudah tiba
Untuk kembali berjumpa
Dengan ibu mu
Yang lama menanti di benua putih !
Duka itu pun menjadi putih
*****
(iii)
Petang ini sekali lagi
Tangis sedih mengisi lagu
Di kamar duka pembaringanmu
Ketika Roos, Sri, dan Pina
Ketika menantumu tercinta
Tiba dari pulau seberang
Membawa bunga
Anggrek putih dan anggrek ungu
Sepanjang malam
Anggrek- anggrek suci
Mereka sirami dengan tangisan
Agar tetap segar
Ketika di persembahkan kepada ayah
Anggrek ungu penghias keranda
Anggrek putih terangkai indah sekali
Adalah bunga pengantin
Untuk di bawa kepada bunda
Menunggumu dalam senyum di gapura
Kehidupan kekal !
Setiap kali jejari merangkai bunga
Ucap cinta berguguran
Bawalah bunga cinta ini, ayah
Hadiah cinta untuk bunda di sana
Dalam rindu putih tak pernah tua
Dalam cahaya abadi tak pernah pudar
Lama menantimu
Memapak dalam dekapan kasih
Bersama Tuhan !
Duka itu pun menjadi putih !
*****
Jumpa dan Pisah

*****
Sebelum tiba di detik ini
Berapa purnama telah kita lewati
Menghitung awal fajar
Menjumlah tepi senja
Ketika kelakar bernada tawa
Ketika tengkar tersuhut amarah
Menjalin riwayat
Menganyam kisah
Kembara kita bersama
Semua negeri enam tak usah risau
Antara jumpa dan pisah tiada jarak
Hanya sebuah gerak
Hanya sebuah detik
Di perjalanan panjang
Kembara kita bersama
Sebelum usai semua ini
Sebelum pamit sedih terucap
Ada pinta tersendat di dada
Bila esok jalan ini akan terpisah
Jejari jemari
Tak lagi tergenggam mesra
Simpanlah putihnya melati
Rangkaulah merahnya mawar
Dalam kenang persahabatan
Keakraban kita tak pernah kusut
*****
Bahagiaku

*****
(Oleh: Rahayu Prihatin)
Siapa orang yang tak ingin bahagia dalam hidupnya
Demikian juga aku
Saat aku tahu arti bahagia
Semakin aku mengerti bahagia adalah pemberianku
Bukan pemberian siapapun
Apakah kita mampu membuka hati untuk bahagia
Atau menutup hati untuk semua kepedihan
Dan penderitaan hidup yang berlaku atas diri kita
Lalu sampai kapan kita tertutup larut
Dalam kesengsaraan batin yang panjang
Masih ada kehidupan di atas kepiluan
Masih banyak yang bisa dilakukan untuk menghasilkan sesuatu
Yang berharga bagi kita dan orang lain
Saatnya bangkit dan membuka diri
Kehidupan harus tetap berjalan
Tidak berhenti di tempat
Tetapi terus melangkah menggapai apa yang belum kita raih
Masih banyak mimpi
Yang harus di kejar dengan bahagia
Saat nya bahagia
*****
Kesungguhan Cinta

*****
Oleh: Vina Apriani
Mataku seakan terus memandang
Pandangan yang begitu sulit ku lepas
Semakin ku memandang
Semakin tersimpan di hati
Semakin tak terlupa wajahmu
Semakin ku menaruh hati padamu
Semakin besar rasa ingin tahuku
Seiring detik aku menemukanmu
Dimana kita saling memandangi
Dan dunia membuat kita semakin bersatu
Menyatukan angan untuk kita selalu bersama
*****
Dini Hari

*****
(Oleh : M Taslim Ali )
Memang, hari telah siang : Ya biarlah !
Apa kerena itu kau mau pergi saja?
Buat apa bangun, karena hari terang?
Apa kita tidur, karena malam datang?
Kasih yang peduli gelap bahwa kita ke mari
Janganlah kita pisah tatkala siang hari
Cahaya tidak berlidah, tapi mata semata
Jika ia bicara sepandai pakai mata
Akan lebih jelek tuturnya dari ini
Karena senang aku pun ingin di sini
Dan karena cinta hatiku dan kehormatan
Tak mau lah aku pisah dari empunya
Jika urusan yang menyuruh kau pergi
Itulah penyakit yang bikin cinta mati
Si miskin, pak Tolol dan penipu tak apa
Bagi kasih, tapi janganlah si pengusaha
Usaha dan cinta tak mungkin seiring
Sama salah dengan suami mata keranjang
*****
Pemasrahan

*****
(Oleh : Fridolin Ukur)
(i)
Wajahnya dingin
Matanya hangat
Jemarinya dingin
Hatinya hangat
Sejuta keyakinan di tatapan mata
Sejuta kata di genggaman jejari
Sepenuh iman terpasrahlah diri
Berpisahlah kini, untuk nanti berjumpa
*****
(ii)
Hanya aku berwarna
Yang lain putih semua
Kereta yang di giring juga putih
Wajah yang terbaring juga putih
Hanya aku berwarna
Dan senyum Sri ikut berwarna
Sentuhan akhir ujung jejari
Senyum pengharapan mewarnai wajah
Mengiringnya pergi
Sendiri kini
Ke balik pintu operasi
*****
(iii)
Antara jantung dan hati
Terasa cekikan dingin
Dingin
Dinginnya ketakutan !
Antara seribu doa
Dan hari menyinta
Terasa kepekatan hitam
Hitam
Hitamnya ketakutan !
*****
(iv)
Segala keberanian yang tertancap
Dalam dada goyah patah
Retak pecah
Segala kepastian yang angkuh dalam raga
Lunglai lemah
Rontok rebah
Sebanyak detik yang menjalar
Delapan belas ribu edaran
Berpacu di seluruh urat nadi
Menari gila di ruang diri
Ketakutan berpesta
Ketakutan menyiksa
Sebanyak detik yang menjalar
Delapan belas ribu edaran
Aku masih terus bertahan
Dalam doa dan pemasrahan
*****
Fajar

*****
Membayang gilang langit di timur
Kilat- kemilat cahaya berhambur
Sinaran terang simbur- menyimbur
Lenyap melayang udara kabur
Itu gerangan fajar menjelma
Surya raya turun ke dunia
Girang- gemirang segala sukma
Di hibur alam puspa warna
Tapi.. wahai pondokku kelam
Hari lah pagi, serupa malam
Tiada cahaya masuk ke dalam
Entah karena dindingnya rapat
Entahkan pintu terkunci erat
Beta tak tahu, beta tak ingat
*****
Bumi

*****
(Oleh : Taufik Hidayat)
Bumi…
Betapa besarnya ukuranmu
Betapa banyaknya keindahan yang kau punya
Keindahan flora dan fauna yang kau punya
Begitu indah
Membuatku terkesima
Walau aku tahu umur yang kau punya sudah tua
Dan beberapa isi yang di bumi telah rusak
Ku harap engkau masih punya banyak keindahan yang tersimpan
Bumi…
Keindahanmu sudah hampir punah
Akibat dari para manusia yang tidak bertanggung jawab
Ku harap tuhan dapat memberikan banyak keindahan
Walau sudah banyak bagian darimu yang hancur
*****
Serpihan Berlian

*****
(Oleh: Mayang ramadhani)
Puing demi puing hancur perlahan
Rasa demi rasa yang semakin sakit
Semakin dahsyat kekuatan hatiku
Semakin kokoh jiwaku
Membuat hatiku
Tak lagi seperti sebuah serpihan berlian
*****
Tidak Ada Yang Salah

*****
Aku sadar perpisahan itu adalah takdir Nya
Maka aku tak ingin menyalahkanmu yang pergi
Walau hanya di jadikanmu tempat melepas penat
Bukan kuasaku menghakimi mu
Tidak ada yang salah,
Baik itu kau, aku, maupun rasa itu sendiri
Semua telah tertulis dalam ketetapan
Bahwa terlukalah jalanku selama ini
Aku akan mencoba berdamai
Merelakan kisah lalu, bukan untuk melupakan
Bantu aku bangkit kembali dengan tak peru datang lagi
Setelah semua hal menyakitkan kemarin
*****
Terminal Akhir

*****
(Oleh : Fridolin Ukir)
Inilah terminal akhir
Ujung jumpa
Awal pisah
Di sini kusampaikan ucap pamit
Dalam puisi terpatah
Terukir di wajah langit
Terhempas di dada tanah
Sepuluh tahun dua bulan sekian hari
Aku ikut menanam cinta
Sepanjang perjalanan ini
Dengan tangis dan keringat
Di antara tawa dan canda
Di seling geram gerutu
Di kawal gelak dan pijar setia
Kadang terpanggang di api ungu
Pembakaran bakti
Seperti habis daya
Keberanian pun bisu !
Kadang gemetar di embun subuh
Benahan mimpi
Seperti kelahiran syair baru
Bunga wangi
*****
(ii)
Inilah terminal akhir
Tanpa dalih ku tempuh jalan itu
Tanpa pamrih ku jelajahi kembara ini
Lewat jerih dan juang
Ku petik bunga mimpi di jalan lengang
Seperti semarak hiasan pesta
Melepas nestapa
Dalam hangat unggun api
Dalam genggam setia kawan
Dan ketika kini
Aku terpaku pada musim akan berganti
Di bayangi detik waktu dingin berentak
Ingin ku lagukan segala terpendam
Sebelum buntu malam
Sebelum siang tenggelam
Segala telah ku coba
Apa yang bisa
Hanya sampai di sini saja
Semua telah tercatat pada wajah
Gurat – gurat luka sejarah
*****
(iii)
Inilah terminal akhir
Ku lambai sepasang tangan
Yang melahirkan puisi
Di denyut jantung urat nadi
Mendebur melepas angan
Terbang, enggan di sapa dalam dusta
Puisi ini mengangkat sayap, terbang
Lewat gurun gersang, sepi senggang
Menembus kefanaan terentang panjang
Meraih ufuk harap samar terpampang
*****
(iv)
Inilah terminal akhir
Wajah- wajah merampung dalam bayang kenang
Napas tertahan menunggu waktu, menjamah
Usap darah, bulan menatap ramah
Ku ulur tangan mesra padamu
Ingin jarak tiada lagi
Walau pisah membuka batas senja
Ku toreh butir- butir kenang
Kesan hangat menggenggam tangan
Biar tidak sunyi langkah ini
Menutup sisa waktu
Sebelum tungku api
Meratapi debu dan abu
Inilah terminal akhir
Aku harus pamit disini
Di sini inilah aku
Hatiku tak pernah hambar
Aku harus mohon diri
Di sini
Inilah aku
Seperti dulu
Di dada cinta terbakar
*****
Kesungguhan Cinta

*****
(Oleh: Vina Apriani)
Mataku seakan terus memandang
Pandangan yang begitu sulit ku lepas
Semakin ku memandang
Semakin tersimpan di hati
Semakin tak terlupa wajahmu
Semakin ku menaruh hati padamu
Semakin besar rasa ingin tahuku
Seiring detik aku menemukanmu
Dimana kita saling memandangi
Dan dunia membuat kita semakin bersatu
Menyatukan angan untuk kita selalu bersama
*****
Sajak Pertemuan Hujan Senja

*****
(Oleh : Windarsih)
Guguran air menyelubungi rona pipi senja
Mengembang senyum sepasang insan bertudung payung jingga
Bumi sudah di jamah resapan manis hujan senja
Usapan tangan di kala pintu – pintu langit terbuka
Magis hujan meniduri relung – relung kerinduan
Pertemuan perpisahan silih berganti tanpa salam
Bagai sebujur kilat membelah angkasa tak pedulikan masa
Setara air hujan kala rasa menjatuhkan lara
Menatap mata hitam pemegang gagang payung jingga
Ku larang melangkah sebelum tangis hujan reda
Mencari kening di antara helai rampai legammu
Mendaratkan rindu semasa kemarau bertahta padaku
Sajak pertemuan di bawah kembang payung hujan
Teduhkan jiwa dua insan pemuja ritme tetesan
Memori penghujung Desember pelukan batas senja
Engkau dan aku meniduri rasa manis air dirgantara
*****
Pagi

*****
(Oleh : Eka Purwanto )
Selamat datang pagi
Ceriamu kini meredup
Suasana pagimu layu terkulai
Terhempas semilir angin terban jauh
Membawamu ke angkasa nan biru
Butiran pasir basah mengembun
Di manakah kau kini berada
Pagi hari merubah suasana kelabu
Menjadikan bunga mawar malas mekar
Kemana harus ku cari pagi ceriamu
Detik, menit berdentang
Membangunkan mimpu khayalku
Suasana pagimu mengnatarkanku
Tuk bergerak cepat langkahku
Merubah suasana menjadi riang
Hilangkan rasa malas bergayut di dada
Menyongsong pagi yang lebih indah
Tuk masa depan kebahagiaan
*****
Izinkan Aku Pamit

*****
( Oleh “ Muhammad Aqiel Baehaqi )
Aku ingin pergi
Dan jangan paksakan
Kau menggenggam tanganku
Aku tahu ini kisah yang sulit
Banyak perdebatan yang panjang
Dan berujung kata pisah
Perubahannya tidak ada
Aku tetap teman terbaik mu
Pamit ini adalah sebuah jalan
Izinkan aku peri dulu
Untuk melihat perubahannya
Tak usah tangisi usaian kita
*****
Pertemuan

*****
(Oleh : D I H )
Aku ingat saat kamu menemukanku
Bukan dari kalimat sapaan
Tetapi dari sebuah senyuman
Yang membuatku tersadar
Jika itu adalah inti
Dari sebuah pertemuan
Yang sulit ter lupakan
Saat itu tanpa tersadar
Kamu membuat suasana menjadi berkesan
Atau hanya sebagai kenangan
Tetapi yang aku tahu
Pertemuan adalah bagian dari perpisahan
Sebagaimana aku menjadikanmu
Bagian dari diriku
*****
Kisahku dan Hujan

*****
(Oleh : Ghivan Christine )
Dalam ayunan langkah, yang semakin lambat
Dalam helaan napas, yang semakin dalam
Dalam desir angan, yang kian menjauh
Dalam desah hati, yang kian membiru
Entah harap, entah khayal yang di genggam
Entah duka, entah suka yang di kecap
Hanya tetes hujan yang paham
Hanya tetes hujan yang menjawab
Dalam biru yang kian menyatu
Di derasnya tetes hujan
Tak ada kata yang terucap
Tapi selaksa makna terjawab
Kisahku, sama dengan hujan
Datang dan pergi tanpa pamit
Menghembuskan asa dan juga nestapa
Hingga hanya dingin yang tersisa
*****
Inginku Menjadi

*****
Kau tahu, ku ingin menjadi kucing persia
Di senjamu
Menidurimu dengan kelembutan
Bulu langsatnya
Kau tahu,
Ku ingin meracik ramuan kopi
Di malam minggumu
Menemani kedinginan punggungmu
Yang tampak kaku
Kau tahu,
Ku ingin menjadi sungai yang mengalir
Di lekuk lesung pipimu
Agar aku bisa menanam
Bunga dahlia dan mawar di situ
Kau tahu,
Aku pun ingin menjadi
Dua gunung kembar di atas lapang dadamu
Di gambar dan di tertawakan
Oleh anak- anak di kertas warna mereka
Dan aku
Hanyalah puisi perpisahan kita
Esok aku menuju koma
Yang landai dan kau kan menulis
Di pandu penyair lain
(a. m)
*****
Bencana

*****
(oleh : Taufik Hidayat)
Lewat suara gemuruh di iringi debu bangunan yang runtuh
Tempatku nan asri terlindas habis
Rumah dan harta benda serta nyawa manusia lenyap
Kau lalap habis
Aku kehilangan segalanya
Memang kejadian begitu mengerikan
Bantuan mengalir
Hati manusia punya nurani
Tuhan mengapa semua ini terjadi
Mungkin kami telah banyak mengingkari mu
Ya Tuhan..
Ampunilah kami dalam segalanya
*****
Luka Kota Tua

*****
Dulu aku berjalan mengitari kota tua ini
Selalu tuangkan semua isi kepala
Pada selembar puisi yang kini pergi
Aku ingat, kita bermimpi berlarian
Ke suatu ruang : sebuah istana
Penuh orang- orang asing
Tidak tahu diri masing- masing
Kita tinggalkan kelap kelip cahaya lampu
Di luar salju turun melukai kita
Atau barangkali itu hanya luapan dendam
Luar kota tua
(a. m)
*****
Pergilah Tidak Ada yang Salah

*****
Mungkin kau tak pernah sadar
Ada hati yang terluka ketika kau tinggalkan
Tanpa kata selamat tinggal, atau
Bisa jadi kau malah tak peduli
Maka jangan coba kau muncul lagi
Sekalipun dengan rasa yang menyesal
Sungguh itu tak lagi penting
Sebab luka akan selalu membekas
Pergilah dari hadapannya, selamanya
Biarkan ia bersama ketenangan yang baru di ciptakannya
Agar tak lagi ada linangan kesedihan
Pun tak ada lagi topeng kebahagiaan
*****
Kesungguhan Cinta

*****
(Oleh : Vina Apriani)
Mataku seakan terus memandang
Pandangan yang begitu sulit ku lepas
Semakin ku memandang
Semakin tersimpan di hati
Semakin tak terlupa wajahmu
Semakin ku menaruh hati padamu
Semakin besar rasa ingin tauku
Seiring detik aku menemukanmu
Dimana kita saling memandangi
Dan dunia membuat kita semakin bersatu
Menyatukan angan untuk kita selalu bersama
*****
Jatuh Hujan

*****
Hujan serasa anomali,
Menyetubuhi bulan Juli
Yang tak tau arti:
Sendiri
Hujan memang jalang
Bercumbu penuh roman
Di atas tubuh- tubuh
Tak bertuan
Hujan temaram malam
Menodai rinai bulan
Yang mendekap erat
Melesap senyap
Hujan, sudikah kau berjudi?
Semeja dengan musim semi
Yang lelah ku nanti
Saat daun- daunnya
Jatuh dan menari
Membawa seseorang
(a. m)
*****
Aku Lupa

*****
Jemariku putus satu persatu
Dan mereka terbang seperti layang layang
Menyulam langit – langit rindang
Dan terbenam di mulut anak- anak
Yang menangis karena lapar
Aku tidak kuasa lagi untuk berdoa
“aku lupa dengan Tuhan
Atau Tuhan lupa pada aku?
Atau aku dan Tuhan sama- sama melupa
Agar tidak satu pun merasa luka?”
Toh, pada akhirnya tidak ada kata
Doa di ruas- ruas jariku
Aku lupa bahwa Tuhan bukan Maha Lupa
Atau aku lupa
*****
Salam Pisah Untuk Bapak Batakku

*****
(Oleh: Bungaran Antonius Simanjuntak)
Sebuah puisi yang dibuat untuk mengenang anak Acehnya
I.
Kau bilang aku bapak
Kau bilang kasihku
Tanpa batas samudera, bangsa
Apalagi agama
Kau bilang aku
Bapak Batak mu
Karena kau minta dalam derai
Air matamu
Aku dan ibu Netty merawatmu
Ketika kau takut meregang nyawa
Di Pulau Penang
Tanpa Eva dan siapa- siapa
Hanya ibu dan bapak Batakmu
Tapi kini kau benar
Meregang nyawa bernama Eva dan ketiga putramu
Tanpa bapak batakmu
Di Banda Acehmu
Ketika tsunami menerkam kamu melebihi singa dan harimau Afrika
Merenggut kamu dari pelukan
Cinta kasihku tanpa batas
Tanpa rasa
Tanpa sesal
Tsunami jahanam !
*****
II
(dari Ipul untuk bapak Batakku)
Tak usah tunggu lagi
Aku di gerbang rumah
Bapak Batakku
Karena pelukan terakhir sudah ku berikan
Ketika kau mengantarku menuju Penang
Aku takut
Tapi kau memberi semangat baru lagi
Aku jadi tertempa baru
Seperti menanti pisau bedah
September nol empat lalu, kau dan ibu
Di samping ranjang bedahku
Aku tak mati kala itu
Kini bapakku
Aku benar ati
Putrimu Eva, istriku ikut mati
Cucumu semua ikut mati
Bersamaku
Kami diterkam air bah Laut Aceh
Tsunami !
Tanpa ampum!
Tanpa pamit padamu
Bapak batakku
Ku nanti kau dan ibu
Di pintu surga
Kami kini di sana
Kami meninggalkan Meulaboh selamanya
Salam kami, anak dan putrimu Eva dan cucu mungilmu
Ipul – Eva
*****
Antara Diri dan Waktu

*****
Antara diri dan waktu
Selesai membenahi ruangan
Kawan – kawan segera akan datang
Naskah musyawarah baru saja selesai di rumuskan
Mata terpandang nanar
Pada kalender tergantung di ruang belajar
Diri pun terkejut sadar
Besok akan ku lewati usia empat enam !
Apakah waktu menghianati aku
Ketika aku di sibuki dengan ceramah
Ketika aku berkhotbah tentang
Cakar hitam dan pagi biru,
Ketika gairah ku habiskan di konferensi
Dan rapat- rapat
Ketika istri ku cium sebentar lalu pergi
Ketika anakku lelaku hanya menatap
Ayahnya pamit berangkat
Hari ini aku berangkat menua
Melampaui usia empat lima
Mengakhiri usia empat enam
Masih ada waktu melempar bayang
Menanya isi dan keislaman
Tentang khianat dan bakti
Tentang dosa dan pengampunan suci
Tentang kawan berdoa pengisi sunyi
Ini tidak berarti
Permainan akan selesai
Dan aku boleh pergi meninggalkan gelanggang
Barangkali peranan akan bertukar
(Fridolin Ukur)
*****
Hanya Puisi

*****
Hanya ada puisi
Di sela- sela jemariku
Menuntun pulang kata- kata
Tanpa sepasang mata mu
Hanya ada puisi,
Di belantara kepalaku
Riuhkan bait- bait rumit
Mengalir di antara bibirmu
Hanya ada puisi,
Di pantai dan surut
Di gunung dan kabut
Di langit dan laut
Barangkali,
Di kamu dan aku
*****
Salam Perpisahan

*****
(Oleh : Amelia Prishanty)
Mata yang berkaca- kaca
Jantung yang berdetak- detak tak menentu
Itulah terpaan gemuruh rasa dalam hatiku
Jarak kita pun kian membentang
Kini hatiku tergores kesedihan
Ketika terucap salam perpisahan
Akankah semuanya jadi terkenang
Bahkan mungkin terkubur oleh waktu dan keadaan
Kini semua tinggal kenangan
Kenangan indah yang telah kita lalui
Canda – tawa
Sedih
Khawatir dan rasa takut terpisahkan
Itulah perasaan yang menggulumi hati kita selama ini
Sobat
Akan tetap membekas suatu kenangan
Dan aku takkan lupa dimana waktu dulu kita bersama
*****
Bianglala Rapuh

*****
Bianglala menggelinding di bawah langit
Menyusuri udara bergambar biru
Mengisahkan dua sejoli yang mengadu temu
Berbincang dengan besi tua berkarat rapuh
Melihat angin berekspresi melucu
Mendengarkan asiknya daun berjabat tangan dengan ranting bisu
Burung kenari mengintip tipis
Ke arah mata yang duduk di bagian biang lala
Yang di bawah menunggu dengan menggerutu
Mengantri sampai berlumut kaki itu
Sungguh penampakan penumpang rusuh
Tak ada yang kecewa dengan waktu
Mereka setia bertemu sang surya langsung
Hanya demi kau bianglala kusut
*****
Sajak Perpisahan Sepihak

*****
(Oleh : Fitri Nur Vaindah Rohma )
Sajak perpisahan merunyam
Batin mencoba menitih luka aksara baru
Bertamu pada pintu- pintu patah hati
Terlilit pada golongan penikmat air mata
Berparas sayu yang remuk diam- diam
Dunia tahu perpisahan itu kejam pada manusia
Mereka menjadi bayangan hitam tanpa ampun
Bersembunyi di cela- cela puing- puing kebodohan hubungan
Menyendiri di pojok cinta sendiri yang tak berkasih
Melihat dia yang masih berbahagia dengan yang sekarang
Merobohkan harapan kembali bersama
Tapi jika ada penyesalan jangan memohon untuk kembali
Kau tabur duri maka tak akan ada apel yang tumbuh
Lelakiku bukan begini
Dia memintaku untuk bertahan bukan melepaskan
*****
Baca Juga Pantun Nasehat
Itulah tadi beberapa puisi yang berkaitan dengan perpisahan. Perpisahan mungkin hal sangat menyedihkan, tapi terlepas dari itu semua kita harus menerima adanya perpisahan. Semoga artikel ini dapat menghibur pembaca.
Satu pemikiran pada “38 Kumpulan Contoh Puisi Perpisahan yang Menyentuh Hati”