Sunan Kalijaga : Perjalanan, Masa Kecil, Dakwah dan Karyanya

Sunan Kalijaga – Tentunya sudah tidak asing ketika ketika mendengar nama “Sunan Kalijaga”. Adalah salah seorang dari beberapa orang wali yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, lebih khususnya penyebaran di tanah Jawa ini yang sudah biasa kita kenal sebagai wali songo.

Selain itu, saat ini nama Sunan Kalijaga juga di pakai sebagai nama suatu tempat misalnya saja di pakai sebagai nama salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Wali songo yang sesuai namanya, di kenal dengan anggota yang berjumlah sembilan orang wali.

Tidak hanya di hormati karena jasa-jasanya dalam menyebarkan agama Islam, wali songo memang sejatinya adalah sosok-sosok yang sangat pantas untuk di jadikan sebagai suri tauladan. Berdasar suatu sumber, anggota dari para walisongo tidak hidup di masa yang sama persis.

Namun antara satu wali dengan wali yang lainnya mempunyai keterkaitan yang begitu erat. Bila pun tidak ada kaitan dengan hubungan darah, maka ada kaitannya dalam hubungan antara murid dan guru.

Tak hanya ahli dalam bidang agama saja, para wali songo juga merupakan seorang intelektual yang menjadi pembaharuan masyarakat pada saat itu.

Contents

Perjalanan Sunan Kalijaga

Perjalanan Sunan Kalijaga
wisata-religi.com

Mempunyai nama Raden Said ketika masa kecilnya, Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450 M. Merupakan seorang anak dari seorang Adipati Tuban dengan nama Tumenggung Arya Wilatika atau yang biasa di panggil dengan Raden Sahur.

Beliau merupakan seorang keturunan dari seorang pemberontak Majapahit, yaitu Ronggolawe.

Saat itu, wilayah kadipaten Tuban berada di bawah kekuasaan dari Kerajaan Majapahit. Sebutan untuk nama Sunan Kalijaga Sendiri baru muncul ketika sesuai pertemuannya dengan Sunan Bonang.

Masa Kecil dan Muda Sunan Kalijaga Serta Kepeduliannya kepada yang Membutuhkan

Kelahiran Sunan Kalijaga atau Raden Said di tandai dengan peristiwa memudarnya masa kejayaan dari kerajaan Majapahit kala itu. Rakyat sangat merasa sengsara dengan semakin melunturnya kerajaan Majapahit. Ternyata sang penguasa Majapahit tidak peduli dengan kesengsaraan yang di rasakan oleh para rakyatnya.

Mereka, para penguasa malah mewajibkan untuk setiap rakyatnya membayar upeti yang nilainya sangat tinggi kepada pihak kerajaan.

Semakin hari, nasib para rakyat pun semakin tidak karuan. Raden Said kemudian tumbuh menjadi seorang pemuda yang merasa prihatin melihat keadaan masyarakat di sekelilingnya yang sangat menderita.

Hatinya sangat tersayat ketika mendengar suara tangisan dari anak-anak yang meminta makan kepada orang tuanya namun tak kunjung di beri.

Begitu pun beliau juga merasa tersayat ketika menyaksikan orang tua yang tidak mampu memberikan makan kepada sang anak yang sangat kelaparan. Sungguh memilukan keadaan para rakyat kala itu.

Karena Sang Raden Said merupakan seorang anak dari adipati tentulah ia tidak merasakan kesengsaraan seperti apa yang di rasakan oleh para rakyat semuanya. Namun hal tersebut tidak menjadikan sang Sunan merasa acuh tak acuh dan tidak peduli dengan nasib para rakyat.

Namun tak banyak yang dapat di lakukannya, karena sang raden said juga masih bergantung kepada kedua orang tuanya. Pada suatu ketika, Sang Raden mengatakan kepada sang ayah yang mana seorang adipati terkait kesengsaraan rakyat kala itu. Namun, sang ayah tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan Raden Said.

Mengingat ayahnya hanyalah seorang adipati yang tidak memiliki kewenangan apapun terhadap upeti rakyat. Banyaknya upeti yang harus di bayar oleh rakyat di tentukan langsung oleh sang raja. Pilihan bagi Rakyat hanya dua, yaitu membayar atau menerima hukuman.

Raden Said, seorang pemuda yang memiliki kepedulian atas nasib sesama kemudian memutuskan pilihannya untuk menjadi seorang pencuri atau bisa di sebut sebagai “Maling Cluring”. Dan sasaran pertama yang akan di jarah oleh raden Said adalah gudang milik kadipaten.

Berbagai makanan ia ambil dari gudang tersebut, kemudian ia langsung lari dan secara sembunyi-sembunyi ia membagikan makanan yang ia ambil kepada para rakyat yang membutuhkannya. Tidak ada satupun rakyat yang mengetahui dari mana dan dari siapa makanan-makanan tersebut.

Karena mereka mengetahui hal tersebut setelah pagi tiba. Kejadian tersebut pun berulang terus-menerus, hingga rakyat menyebut julukan maling cluring, yaitu seorang pencuri yang mencuri namun bukan untuk diri sendiri tapi di bagikan kepada orang yang membutuhkan.

Lambat laun, gerak gerik sang maling cluring pun tercium. Hingga suatu saat, Raden Said tertangkap basah tengah mencuri makanan dari gudang. Hal tersebut tentu saja membuat sang ayah murka. Karena sang raden di anggap telah mencoreng martabat keluarga yang merupakan seorang adipati.

Kemudian Raden Said di beri hukuman yaitu di usir dari Istana. Di usirnya raden Said dari istana ternyata tidak membuatnya jera, ia malah merampok dan juga membegal. Sasarannya adalah semua orang kaya yang tinggal di wilayah Kadipaten Tuban.

Tetap saja, hasil yang di dapatkan dari merampok, mencuri, dan membegal adalah untuk membantu para rakyat yang kesusahan. Ia tak peduli sama sekali dengan jalan dan upaya yang di tempuhnya benar atau telah keliru. Raden Said menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi semua orang kaya, bahkan mereka sampai susah tidur.

Tumenggung Wilatika semakin murka mendengar kelakuan putranya yang semakin hari semakin membrutal. Hampir setiap hari ada yang melapor bahwa harta yang di milikinya telah ludes di ambil oleh anaknya. Ia pun memerintahkan kepada prajurit untuk menangkap putranya, Raden Said.

Kemudian ayah dari raden Said memutuskan untuk memberinya hukuman. Hukuman yang berlaku bagi seorang pencuri adalah hukuman mati, namun karena Raden Said adalah putranya, tentu saja ia tidak tega untuk menghabisi sendiri putranya. Akhirnya hukuman yang di putuskan untuk Raden Said adalah harus keluar dari wilayah Tuban saat itu.

Ternyata, hukuman yang di berikan tidak memberikan kejeraan terhadap niatnya untuk merampok dan mencuri. Raden Said tidak pernah sedikitpun menyesal dengan apa yang ia lakukan. Meskipun karena hal tersebut ia di paksa untuk meninggalkan kemewahan kadipaten dan juga orang-orang yang di cintainya.

Raden Said pun terus menyusuri jalan kemanapun kakinya ingin melangkah. Hingga sampailah di suatu hutan di kawasan Rembang Jawa Tengah, tepatnya namanya hutan Jatiwangi. Di hutan belantara itu, Raden Said berjumpa dengan seorang yang ternyata adalah Sunan Bonang.

Raden Said tidak peduli dengan siapa ia bertemu, yang ada di dalam pikirannya adalah mengincar harta bekal dan tongkat yang di bawa oleh Sunan Bonang. Setelah melalui beberapa pertarungan, akhirnya Sunan Bonang berhasil di kalahkan oleh Raden Said.

Namun hal tersebut tidak menjadikan Sunan Bonang untuk memberikan hartanya kepada Raden Said. Hingga kemudian Raden Said menceritakan alasannya melakukan tindakan tersebut.

Sunang Bonang Guru Sunan Kalijaga

Sunang Bonang Guru Sunan Kalijaga
balubu.com

Pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang memiliki arti yang sangat penting untuk merubah pandangan hidup dari Raden Said. Pertemuannya dengan Sunan Bonang juga menjadi tonggak sejarah dalam proses kewalian Raden Said.

Seandainya saja Raden Said tidak berjumpa dengan Sunan Bonang mungkin Raden Said tidak mengetahui bahwa apa yang di lakukan olehnya selama ini adalah hal yang tidak benar menurut ajaran Islam. Raden Said kini menyadari bahwa apa yang di lakukannya selama ini adalah hal yang keliru.

Kepeduliannya terhadap orang yang tertindas adalah perbuatan yang mulia, namun karena hal mulia tersebut di lakukan dengan cara keji seperti merampok dan mencuri maka hal tersebut menjadi suatu yang keliru. Hal tersebut menjadi sebuah dosa apabila di lakukan dengan cara yang keliru.

Pertemuannya dengan Sunan Bonang benar-benar memberikan pencerahan dalam jiwa Raden Said sehingga paham akan kebaikan dan keburukan. Raden Said juga sudah mengerti tentang pahala dan dosa. Melihat kearifan dan kedalaman ilmu agama yang di miliki oleh Sunan Bonang, Raden Said pun memutuskan untuk berguru kepada Sunan Bonang.

Sunan Bonang kemudian menjadi seorang guru yang pertama bagi sang Raden Said. Selama berguru kepada Sunan Bonang, Raden Said menjadi murid yang begitu patuh kepada gurunya. Suatu ketika, Sunan Bonang meminta kepada Raden Said untuk menunggu kedatangan Sunan Bonang ke bali di suatu tepi sungai atau biasa di sebut kali.

Karena itu perintah dari sang guru, Raden Said pun tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya tersebut. Ternyata lama nya Raden Said menunggu kedatangan sang guru adalah selama tiga tahun. Dalam suatu cerita, di ceritakan bahwa saking lamanya Raden Said menunggu kedatangan kembali sang guru sampai-sampai badan Raden Said di penuhi oleh tumbuhan-tumbuhan.

Hingga suatu waktu Sunan Bonang kembali kepada muridnya dan ia mengalami kesulitan untuk menemukan sang Raden Said. Namun karena ketajaman sang guru kepada muridnya, Sang Bonang dapat menemukan Raden Said yang ternyata masih berada  di tempat yang sama ketika Sunan Bonang pergi.

Kemudian di gemblenglah sang murid dengan ilmu-ilmu agama dan juga ilmu yang lain. Kemudian Raden Said di sebut sebagai Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga berjumpa dengan Sunan Gunung Jati

Sunan Kalijaga berjumpa dengan Sunan Gunung Jati
moondoggiesmusic.com

Di Palembang, ternyata Sunan Kalijaga juga pernah berguru kepada seorang syekh yang bernama Syekh Sutabaris. Hanya saja, keberadaan Sunan Kalijaga di wilayah tersebut ternyata tidak meninggalkan catatan tertulis. Konon ceritanya, Sunan Kalijaga inhin menyusul gurunya, yaitu Sunan Bonang yang pergi ke Makkah.

Namun, oleh Syekh Maulana Al Maghribi, Sunan Kalijaga malah di perintahkan untuk kembali lagi ke Jawa. Babad Cerbon menulis, bahwa Sunan Kalijaga sempat menetap di Cirebon selama beberapa tahun, persisnya di sebuah Desa yang bernama Desa Kaliaga.

Di ceritakan bahwa pertama Sunan Kalijaga datang ke Cirebon, beliau tidak menerangkan bahwa beliau adalah seorang wali. Namun ia bekerja sebagai seorang yang bertugas untuk membersihkan masjid. Di tempat tersebutlah Sunan Kalijaga kemudian bertemu dengan Sunan Gunung Jati.

Dakwah Sunan Kalijaga

Dakwah Sunan Kalijaga
moondoggiesmusic.com

Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang mempunyai kecerdasan dalam menganalisa suatu masalah dakwah. Kala itu masyarakat Jawa sangat menggandrungi kesenian wayang, ia tak pernah melarang hal tersebut. Justru kegemaran masyarakat yang suka dengan wayang menjadi suatu inspirasi bagi Sunan Kalijaga Untuk Berdakwah.

Dengan tanpa menyakiti ataupun menyinggung perasaan dari orang lain, Sang Sunan Kalijaga kemudian menawarkan buaya wayang dengan kemasan yang maknanya dapat memberikan pencerahan moral kepada yang menontonnya.

Usaha dan upaya yang di lakukan oleh Sunan Kalijaga tidaklah sia-sia. Pendekatan kepada masyarakat melalui pendekatan budaya tersebut memberikan hasil yang begitu signifikan terhadap perkembangan agama Islam. Kemudian agama islam semakin berkembang di daerah-daerah lain.

Bukan hanya orang-orang desa yang menganut agama Islam, Islam kemudian telah berhasil merambah sampai kepada para kaum elit di istana. Kesantunan yang di miliki oleh Islam menjadi daya tarik sendiri bagi orang lain.

Cerita Sunan Kalijaga dan seekor Kera Merah-Putih

Cerita Sunan Kalijaga dan seekor Kera Merah- Putih
www.nu.or.id

Suatu dini hari menjelang shubuh, sang Sunan Kalijaga tengah melintas dari wilayah Demak menuju arah selatan hingga sampai ke sebuah hutan yang bernama Gunung Pati. Sesampainya di tepi hutan tersebut, Sunan Kalijaga kemudian mengambil arah ke timur untuk masuk ke dalam hutan.

Setelah berjalan cukup jauh, sampailah Raden Said di suatu gua yang sesuai dengan isyarat meditasinya. mulut gua yang berbentuk landai itu di kelilingi air jernih serta irama bunyi yang berisik dari sejumlah kera yang bergelantungan di pangkal dahan jati.

Apa yang di lihat oleh Sunan Kalijaga kala itu di sekitar gua mempunyai gambaran persis sebagaimana dengan yang di ungkap pertapa Cemara Tunggal. Menyaksikan kejadian tersebut, Sunan Kalijaga sempat terpana. Kemudian Sunan Kalijaga berjongkok di atas bebatuan yang terjal sambil membasuh muka menggunakan air jernih dan segar dengan kedua telapak tangannya.

Wajah Sunan Kalijaga di penuhi dengan keringat dan peluh yang di sebabkan perjalanan yang cukup panjang. Seusai membasuh muka menggunakan air gua yang jernih, wajah sunan kalijaga menjadi bersih. Kesegaran pun muncul kembali di wajah sang sunan. Dengan tenang, Sunan Kalijaga mengusap usap wajahnya dengan tangannya.

Sunan Kalijaga senantiasa berdzikir dengan posisi kedua tangan menengadah ke atas. Sunan Kalijaga memohon kepada Allah agar kera-kera raksasa yang menghuni gua tersebut tidak mengganggu sang sunan serta tunduk kepada beliau. Setelah selesai berdoa, badan sang sunan yang ramping secara tiba-tiba terhempas ke belakang.

Suara berisik para kera tiba-tiba memecah keheningan gua tersebut. Pasukan kera-kera besar merasa terganggu dengan kedatangan manusia, mereka pun turun dari atas pohon rindang dan langsung menuju ke Sunan Kalijaga. Para kera tiba-tiba bersimpuh di hadapan sang Sunan seperti layaknya manusia.

Sungguh ajaib, para kera yang biasa marah terhadap manusia secara tiba-tiba tunduk kepada sang Sunan dan siap menunggu perintah dari beliau. “Daulat paduka, kami siap menunggu perintah dari baginda”, tentu saja Sang Sunan Kalijaga sangat tercengang melihat kejadian yang baru saja terjadi.

Mana mungkin kera-kera tersebut dapat berbicara dan tunduk kepadanya. Baru kali itu sang sunan melihat kera yang dapat berbicara dan berlaku selayaknya manusia. Kesaktian Sunan Kalijaga terbukti kembali.

Karya Sunan Kalijaga

Karya Sunan Kalijaga
Karya Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga bukan hanya seorang wali, ia juga mendapat julukan atau gelar yaitu seorang “seniman dan budayawan”. Karena beliaulah yang pertama kali menciptakan adanya seni suara, seni ukir, seni pakaian, seni suara, seni ukir, bedug, wayang kulit, seni suara seni gamelan, dan lain sebagainya.

Beliau adalah orang pertama yang menciptakan adanya baju takwa. Yang mana kemudian di sempurnakan oleh Sultan Agung. Selain baju takwa, Sunan Kalijaga juga menciptakan tembang Dandang gula Semarangan dan juga tembang Dandang gula. Bukan hanya dua lagu saja, melainkan ada beberapa lagu lainnya.

Sunan Kalijaga juga menjadi orang pertama yang menciptakan seni ukir dengan motif dedaunan. Sebelum era Sunan Kalijaga, kebanyakan di temui adalah ukiran yang menggambarkan manusia dan juga menggambarkan hewan. Beliau juga menjadi orang pertama yang mempelopori di buatnya bedug di masjid.

Baca juga Sunan Ampel

Saat itu Sunan Kalijaga memerintahkan kepada muridnya yaitu Sunan Bajat untuk membuat bedug di suatu masjid di daerah Semarang. Kegunaan bedug tersebut di buat adalah sebagai alat panggilan agar oleh berangkat menuju masjid untuk melaksanakan sholat jumat.

Sunan kalijaga juga memprakarsai sebuah acara ritual yang di namakan grebeg maulud. Asal dari kegiatan ini yaitu suatu pengajian atau tabligh akbar yang di selenggarakan oleh para wali di masjid demak guna acara dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dan hingga sekarang tradisi tersebut masih berjalan. jika ada yang di tanyakan mengenai biografi sunan kalijaga silahkan tulis di komentar.

Sunan Kalijaga : Perjalanan, Masa Kecil, Dakwah dan Karyanya

2 pemikiran pada “Sunan Kalijaga : Perjalanan, Masa Kecil, Dakwah dan Karyanya”

Tinggalkan komentar