Perang Padri : Latar belakang, Strategi yang Dilakukan oleh Kaum Adat dan juga Belanda

Perang Padri – Dalam sejarah menuju ke kemerdekaan Indonesia, selalu lekat dengan berbagai peperangan. Kebanyakan memang perang tersebut terjadi melawan para penjajah. Namun, ada salah satu perang yang melibatkan sesama saudara, yakni dua kubu penduduk Sumatera Barat.

Perang ini diawali dengan adanya perbedaan pendapat diantara sekelompok ahli Agama Islam atau dikenal juga dengan Kaum Padri dan juga Kaum Adat yang ada di wilayah Kerajaan Pagaruyung dan juga sekitarnya. Saat itu, Kaum Padri menilai bahwa kebiasaan dari Kaum Adat berlawan dengan syariat Islam.

Kebiasaan yang dilakukan oleh Kaum Adat meliputi sabung ayam, berjudi, mengkonsumsi arak, menggunakan obat terlarang, serta menggunakan hukum matriarkat dalam pembagian warisan. Padahal, sebelumnya, Kaum Adat telah menyatakan diri masuk Islam dan berjanji akan meninggalkan kebiasaan buruk tersebut.

Tingkah yang dilakukan oleh Kaum Adat membuat Kaum Padri menjadi marah hingga akhirnya meletuslah perang saudara yang terjadi pada tahun 1803. Perang saudara ini terjadi antara sesama Mandailing serta Minang. Pemimpin dari Kaum Padri adalah Harimau Nan Salapan, sementara Sultan Arifin Muningsyah memimpin Kaum Adat.

Meskipun pada dasarnya, Perang Padri adalah perang melawan penjajah, namun, akhirnya berubah menjadi perang melawan penjajah.

Hal ini diawali oleh Kaum Adat yang terdesak hingga meminta bantuan pada Belanda pada tahun 1821. Akan tetapi, keterlibatan dari Belanda ini justru membuat keadaan menjadi semakin ruwet dan kacau.

Pada saat itu, Belanda justru terlalu mencampuri urusan dari Kaum Adat, sehingga Kaum Adat memutuskan untuk bergabung dengan Kaum Padri. Hal ini dilakukan oleh Kaum Adat dengan pertimbangan ketimbang menghadapi dua musuh yakni Belanda dan Kaum Padri.

Hingga pada akhirnya, etnis Minang dan Mandailing bersatu mengalahkan penjajah bersama-sama. Perang ini ternyata mengorbankan banyak hal dari masyarakat Minang dan Mandailing, termasuk diantaranya waktu yang sangat lama, banyak jiwa, serta harta benda. Meski begitu, peperangan tetap saja dimenangkan oleh Belanda.

Selain itu, ada dampak lain yang terjadi karena perang ini yakni Kerajaan Pagaruyung yang akhirnya harus runtuh. Pun, banyak orang yang memilih berpindah dari area konflik, serta menurunnya kondisi ekonomi masyarakat.

Contents

Latar Belakang Terjadinya Perang Padri

Latar Belakang Terjadinya Perang Padri
materi4belajar.com

Seperti yang sudah di ulas sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya Perang Padri, awalnya dari keinginan dari Kaum Padri yang ingin memperbaiki moral masyarakat Minangkabau. Ada tiga tokoh utama yang memiliki keinginan tersebut meliputi Haji Sumanik, Haji Piobang, serta Haji Miskin.

Ketiganya pulang dari Makkah dan ingin memperbaiki syariat Islam dari masyarakat Minangkabau. Keinginan ini didukung dengan datangnya Tuanku Nan Renceh yang memiliki persepsi yang sama. Niat ini mengetuk hati lebih banyak orang lagi, termasuk diantaranya tokoh dan ulama Minangkabau yang bernama Harimau Nan Salapan.

Pada saat itu, Harimau Nan Salapan serta Tuanku Lintau pergi ke istana Pagaryung untuk menemui Sultan Arifin Muningsyah serta Kaum Adat untuk mengingatkannya pada syariat Islam. Dua orang tersebut meminta Kaum Adat untuk menjauhi kebiasaan yang berlawanan dengan syariat Islam.

Meskipun perundingan dilakukan, akan tetapi, tidak ada kesepakatan yang terjadi diantara keduanya. Dalam waktu yang sama, beberapa nagari yang ada di bawah Kerajaan Pagaruyung mulai kacau.

Sampai di tahun 1815, seorang tokoh bernama Tuanku Pasaman memimpin Kaum Padri untuk menyerang Koto Tangah yang masuk ke wilayah kerajaan Pagaruyung.

Sultan Arifin Muningsyah akhirnya harus terpaksa untuk melarikan diri ke luar ibu kota. Di dalam catatannya, Thomas Stamford Raffles mengunjungi Kerajaan Pagaruyung di tahun 1818 dan hanya dapat melihat puing istana Pagaruyung yang sudah luluh lantah.

Strategi yang Dilakukan oleh Kaum Adat dan juga Belanda

Strategi yang Dilakukan oleh Kaum Adat dan juga Belanda
id.wikipedia.org

Strategi dari Kamu Adat dan Kerajaan Pagaruyung: Meminta Bantuan Belanda

Ketika Kaum Adat telah kewalahan menghadapi Kaum Padri, disebabkan karena Kaum Padri terus menyerang Kaum Adat, maka kekalahan pun akhirnya harus ditanggung oleh Kaum Adat. Hal ini diperburuk dengan hilangnya Sultan Arifin Muningsyah.

Kaum Adat mendapatkan keadaan yang semakin terjepit. Akhirnya, mereka berunding untuk menyelesaikan masalah. Dalam perundingan ini, pada akhirnya, mereka memutuskan untuk meminta bantuan pada pihak Belanda.

Perundingan dengan Belanda dilakukan oleh Kaum Adat dengan diwakili oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar. Meskipun sebenarnya Sultan Tangkal Alam Bagagar tidak memiliki hak untuk mengatasnamakan Kerajaan Pafaruyung, akan tetapi Belanda terus memaksa untuk menandatangani perjanjian,

Di dalam perjanjian tersebut, menyatakan bahwa Kerajaan Pagaruyung sudah menyerah pada Pemerintah Hindia-Belanda. Sehingga, Padang pun akhirnya dipimpin oleh residen James du Puy. Atas rekomendasi dari residen, Sultan Tangkal Alam Bagagar pun dijadikan sebagai Regent Tanah Datar.

Kesempatan dari aliansi ini pun dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai komoditas Minangkabau yang mana tanahnya sangat cocok di tanami kopi. Seperti yang telah diketahui bahwa kopi adalah komoditas perdagangan yang sangat penting bagi Belanda di tanah Eropa.

Belanda yang dimintai tolong oleh Kaum Adat pun mulai ikut campur dalam urusan pemerintahan Sumatera Barat. Mereka mulai menyerang daerah Simawang dan Sulit Air yang dipimpin oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema.

Lantas, Letkol Raaff membantu dua kapten serta berhasil untuk mengusir Kaum Padri untuk keluar dari Pagaruyung. Kemudian, selanjutnya, Belanda pun membangun sebuah benteng di daerah Batu sangkar yang dinamakan sebagai Fort Der Capellen.

Strategi Kaum Padri: Regroup dan Gerilya

Setelah mengalami kekalahan dari Belanda, Kaum Padri pun menyusun ulang serta mengevaluasi kekuatannya kembali. Mereka melakukan hal ini di daerah Lintau. Kaum Padri menghalau serangan Raaff di Tanjung Alam serta Luhak Agam.

Kemudian juga di Baso, Kaum Padri membuat kapten Belanda yang bernama Goffinet terluka parah hingga meninggal. Strategi baru yang dirancang oleh kaum Padri menuai kesuksesan. Sebab, dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, Kaum Padri berhasil menekan Belanda terus menerus hingga kembali ke Batu sangkar.

Aliansi antara Belanda dan Kaum Adat nyatanya tidak mendapatkan keberuntungan besar. Sebab, di bulan April 1823, Belanda menambah kekuatan dan Raaf pun menyerang daerah Lintau lagi, Akan tetapi, pertahanan dari Kaum padri terlalu gigih bagi Belanda.

Akhirnya, Belanda lebih memilih untuk kembali ke Batu Sangkar. Atas permintaan dari Belanda, Sultan Arifin Muningsyah dipulangkan kembali ke Pagaruyung. Di tahun 1844, Raaff pun meninggal dikarenakan demam serta Sultan Arifin wafat di tahun 1825.

Di tahun yang sama, Belanda berhasil menduduki Kapau, Biaro, Ampang Gadang, serta Koto Tuo. Ekspansi Belanda ini dipimpin oleh Laemlin. Meski begitu, pada akhirnya Laemlin meninggal di Padang karena mengalami luka yang parah.

Strategi Belanda: Gencatan Senjata

Cara lain yang dilakukan oleh Belanda untuk menyerang Kaum Padri adalah dengan perundingan. Dikarenakan kerepotan menghadapi Kaum Padri yang kuat, serta telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menghadapi perang di Eropa serta dalam melawan Diponegoro, maka Belanda mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan perjanjian yang diberi nama Perjanjian Masang.

Selama gencatan senjata dilakukan, Kubu Padri mulai memulihkan pasukan serta merangkul Kaum Adat dengan dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Hingga akhirnya, lahirlah konsensus bersama untuk menegakkan agama Islam serta Al Quran di Minangkabau. Dalam Bahasa Padang, konsensus ini disebut dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,

Strategi Belanda: Menguasai Titik Vital

Setelah gencatan senjata berakhir, maka Belanda mulai berperang lagi. Kali ini, dipimpin oleh Letkol Elout. Belanda tentu saja lebih siap ketimbang sebelumnya. Hal ini dikarenakan senjata telah siap kembali. Selain itu, perang dengan Diponegoro pun telah berakhir.

Akhirnya, Belanda melanggar perjanjian dan mulai menyerang Lintau dan Pandai Sikek. Wilayah ini menghasilkan senjata api serta mesiu. Lantas, dibangun juga Fort de Kock di Bukit Tinggi. Selanjutnya, Belanda berhasil menaklukkan Luhak Tanah Datar di tahun 1831.

Letkol Elout sendiri mendapatkan bantuan dari Sentot Prawirodirjo yang mana merupakan Panglima Diponegoro. Sentot sendiri merupakan panglima Diponegoro yang membelot yang lebih berpihak pada Hindia Belanda. Akan tetapi, tingkah Sentot di Lintau terlihat mencurigakan.

Karena sebenarnya, Sentot memihak pada Kaum padri. Akhirnya, laki-laki ini dibuang di Bengkulu serta menghembuskan napas terakhir di tanah itu. Belanda pun menyerang lagi dan kini dibantu Letkol Vereulen. Jumlah infantri yang datang pun cukup besar.

Dan akhirnya menyerang Lukah Agam dan Kamang, serta Luhak Limo Puluah. Kaum Padri akhirnya kalah dan hancur. Sehingga, mereka mundur ke daerah Bonjol. Sementara di Padang Mantinggi, Kaum Padri menyerang pertahanan Belanda sehingga membuat kompeni kewalahan.

Strategi Kaum Padri dan Kaum Adat: Bersatu Kita Teguh

Kaum Adat dan Kaum Padri akhirnya bersatu karena menganggap bahwa keterlibatan Belanda hanya memperkeruh suasana. Di tahun 1833, muncul kompromi antara dua kaum ini. Sehingga, di tanggal 11 Januari 1833, kubu-kubu pertahanan Belanda mendapatkan serangan mendadak.

Orang Belanda pun mulai curiga pada Sultan Tangkal Alam Bagagar. Belanda pun menangkapnya dengan tuduhan pengkhianatan. Meski Sultan Alam terus menyangkal, tetapi, para petinggi tetap saja membuangnya ke Batavia. Pada titik ini, Belanda mulai menyadari bahwa Kaum Padri dan Kaum Adat bersatu.

Selepas pengasingan Sultan Alam Bagagar, Belanda pun membuat pengumuman yang diberi nama Plakat Panjang. Pengumuman ini menyatakan jika Belanda tidak memiliki niat untuk menguasai Minangkabau melainkan hanya untuk berdagang. Pribumi tidak perlu membayar pajak lagi serta tetap ada pada naungan pimpinan penghulu.

Strategi Belanda: Penyerangan Imam Bonjol

Perang Padri bertahan terlalu lama sehingga para petinggi Belanda mulai jenuh dengan keadaan ini. Akhirnya, mereka pun memutuskan solusi untuk menyerang Benteng Bonjol. Namun, serangan yang terjadi di tahun 1833 ini gagal karena taktik gerilya Kaum Padri.

DI tahun 1835, serangan yang lebih besar diarahkan pada Bonjol. Benteng Bonjol dikepung sampai jatuh di tanggal 16 Agustus 1837. Meski begitu, Tuanku Imam Bonjol selamat dari kepungan.

Takdir Akhir Tuanku Imam Bonjol

Takdir Akhir Tuanku Imam Bonjol
www.liputan6.com

Aliansi dari Kaum Padri dan Kaum Adat mulai melemah dan lelah. Mereka terus menerus bersembunyi dan berlari. Tuanku Imam Bonjol pun berusaha untuk mengkonsolidasi pasukan Sumatera Barat. Hingga pada akhirnya, Tuanku Imam Bonjol harus menyerah ke tangan Belanda.

Beliau ditangkap serta dibuang ke berbagai tempat. Mulai di Cianjur, Ambon, dan terakhir Minahasa. Pengasingan ini dilakukan secara bertahap dan berpindah-pindah. Beliau pun menghembuskan napas terakhir di tempat pengasingannya tepatnya pada tanggal 8 November 1864.

Akhir Perang Padri

Akhir Perang Padri
Akhir Perang Padri

Perang yang berlangsung begitu lama ini nyatanya membawa akhir yang buruk bagi semua etnis Minangkabau. Setelah Tuanku Imam Bonjol ditangkap, Belanda pun berhasil menguasai Benteng Bonjol pada tahun 1837.

Meski begitu, perang terus berlanjut sampai pertahanan terakhir dari Kaum Padri yakni di Rokan Hulu menjadi saksi terakhir perjuangan masyarakat Minangkabau. Hal ini terjadi tepat di tanggal 28 Desember 1838. Pemimpin Rokan Hulu yakni Tuanku Tambusai terpaksa mundur dan pindah ke Negeri Sembilan yang ada di Semenanjung Malaya.

Perlawanan dari rakyat Minangkabau akhirnya harus ditumpas oleh Belanda. Padangse Bovenlanden pun ada pada naungan Hindia Belanda, sementara Kerajaan Pagaruyung menjadi bagian dari Pax Netherlandica.

Kesimpulan

Dilatar belakangi oleh adanya perselisihan antara Kaum Padri dan Kaum Adat yang ada di Minangkabau. Yang mana Kaum Padri ini adalah sekelompok ulama yang baru saja kembali dari Timur Tengah. Kaum Padri berusaha menghilangkan unsur adat disebabkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Perang Padri terjadi dalam tiga periode, yakni:

Periode pertama di tahun 1821-1825 yang merupakan perang koalisi diantara Belanda dan Kaum Adat melawan Kaum Padri

Periode kedua yakni di tahun 1825-1830 yang merupakan masa gencatan senjata atau Perjanjian Manasang

Periode terakhir yakni di tahun 1830-1837 yang merupakan perang antara koalisi Kaum Adat dan Padri yang melawan Belanda.

Demikian pembahasan mengenai Perang Padri dan Strategi yang dilakukan baik oleh Kaum Padri, Kaum Adat, atau Belanda. Dari hal ini kita dapat belajar bahwa perselisihan di antara sesama saudara sebangsa dan setanah air akan mengakibatkan dampak yang buruk.

Sehingga, perbedaan yang ada harus ditanggapi dengan cara yang bijak tanpa ada unsur paksaan hanya dari satu pihak saja. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan komentar